Aku punya sederet nama nama pahlawan yang aku sukai. Ya, pahlawanku banyak. Dan dari yang banyak itu, ada nama nama pahlawan yang aku pernah mengenalnya, tapi tak benar benar mengenal seperti semengenal aku padamu. Mereka datang bersama butir butir huan, dan menghilang bersama hilangnya tetes huan yang terakhir.

Maukah kau mendengarnya bila kuceritakan kisahku bersama pahlawan pahlawan itu?

Dan berceritalah aku akhirnya, sa’at kulihat kau mengangguk pelan…

Hujan begitu deras. Tiap tiap butirnya menggempur apa saja yang bisa ia gempur. Ujung ujung daun, rerumputan, genting, bebatuan, kandang ternak. Semuanya. Suaranya terdengar mendendam. Ya, hujan sedang marah. Ia turun seperti tak pernah ingin berhenti. Siapapun tahu, hujan yang seperti itu akan mendatangkan sesuatu. Dia datang membawa pesan dari alam.

Sebelumnya..

Pada 1 Januari 2006, Kota Kecil Jember terlihat cantik. Dia sedang merayakan ulang tahunnya. Tapi kecantikannya tidak berlangsung lama. Pada saat malam mulai merangkah tanpa sinar rembulan, ada sebuah kabar mengejutkan. Bahwa di sebuah desa bernama Panti, ada banjir bandang. Kabar diterima langsung dari pihak kepolisian setempat. Ya aku ingat, saat itu aku sedang menikmati kopi hangat di rumah para pencinta alam.

Beberapa jam setelahnya..

Packing. Siap merapat, siap meluncur ke lokasi.

Aku tidak terjun malam itu juga. Aku menunggumu..

Malam itu kau entah ada dimana. Bisa saja aku segera berangkat. Secara lahir aku sudah siap sepenuhnya. Sudah ada korek api di kantung jaket gortex warna merah milikku. Sudah ada beberapa makanan untuk tiga hari. Sudah ada peralatan tidur, baju lapang, sepatu PDL, bandana, dan niat. Aku siap secara lahir, tapi bathinku meronta untuk tetap menunggumu. Andai kau tahu, yang kubutuhkan hanya memandang wajahmu. Setelah itu aku siap luar dalam bila harus ada di jajaran tim SAR OPA.

Esoknya kau datang. Aku memandangmu dari jauh. Lalu aku melangkah. Semakin mendekat, dan.. sudah. Begitu saja. Barulah kemudian aku bergerak.

Aneh. Tidak masuk akal. Padahal saat itu engkau bukanlah apikecilku.

Aku menceritakan ini padamu, karena aku tiba tiba ingin berkisah..

Hujan kadang kadang saja berhenti. Tapi tidak benar benar. Rintiknya masih setia mengecup tanah tanah desa Panti yang tertutup lumpur. Sungai tak lagi bisa dikatakan sungai. Entah apa kata yang tepat untuk menggambarkan sungai yang seperti ini. Lautan lumpur mungkin? Atau jalur batu batu menggelinding?

Pernahkah engkau membayangkan tentang air berlumpur yang lari sekencang kencangnya dan berhasil menghantam, menerjang dan mendorong batu sebesar luas kamarmu? Pernahkah terbersit di bayanganmu tentang orang orang di dalam tenda darurat, yang berkumpul menjadi satu baik tua maupun muda, yang matanya menatap kosong, yang selalu menjerit traumatis manakala hujan datang, manakala sungai kembali bergemuruh oleh bebatuan yang saling menerubuk, yang membenci keadaan karena dia dijadikan tontonan oleh para wisata bencana? Kau tahu, kadang saat SRU kelompokku sedang istirahat dari evakuasi korban, aku ada diantara tatapan tatapan kosong itu.

Ada yang tiba tiba menangis. Ada yang diam seribu bahasa di sudut setumpuk karung berisi pakaian bekas (benar benar bekas dan tak layak pakai), menerawang dengan mata yang berkaca kaca. Ada yang sibuk menidurkan buah hatinya yang selalu memanggil manggil Bapaknya yang sudah ada di kantong mayat. Ada yang tidak melakukan apapun. Tidak sedih, tidak menerawang, dan tidak melakukan apapun. Statis.

Aku memandang mereka satu persatu. Memandang para relawan yang tugasnya menemani mereka, membangkitkan kepercayaan diri mereka. Banyak sekali yang mereka lakukan. Mulai dari mengumpulkan anak kecil lalu mengajaknya berdongeng, bernyanyi dan kadang juga mengajak mereka menggambar bersama (dan seringkali acara acara ini tidak disambut antusias, kecuali jika mereka memberi embel embel makanan ringan atau sebuah mainan yang bisa dimiliki). Para relawan ini orang orang yang hebat. Aku belum tentu bisa bila ada di posisi mereka (kelak, pada saat merapi meletus dan aku ada di posisi seperti para relawan ini, aku benar benar mengerti bahwa tugas pendampingan korban bencana adalah memang sulit).

Posko penanggulangan bencana dipusatkan di balai desa Kemiri kecamatan Panti. Semua mendirikan tenda di sana. Ada tenda angkatan lengkap. Ada keluarga kepolisian. Ada tenda medis, baik dari angkatan, RSUD maupun swasta. Dan ada tenda tenda yang tak ingin aku tuliskan di sini. Terlalu menyebalkan untuk menceritakannya. Kau pasti juga tidak akan menyukainya.

Telkom mendirikan beberapa KBU telepon gratis di sana. Bersandingan dengan kotak kotak bantuan yang berupa barang, obat obatan, pakaian layak pakai, dan makanan. Ingin sekali aku masuk ke salah satu KBU, mengangkat gagangmya dan memencet beberapa digit angka angka dimana nantinya aku bisa mendengarkan suaramu. Tapi tidak, itu sama sekali tidak pantas. Aku bukan salah seorang korban bencana. Lagipula, ini tidak penting. Dan akupun mengubur dalam dalam keinginan yang konyol itu.

Kuceritakan padamu tentang aeng..

Entah di hari keberapakah itu aku lupa. Saat itu aku dan SRU yang lain (kami menamakan kelompok kami yang berjumlah enam orang dengan nama SRUntul) ditempatkan bersama Bapak Bapak aparat. Dan SRUntul kebagian bertugas bersama lima orang BRIMOB kepolisian Bondowoso. Salah satu dari mereka bernama Mas Agung, asli Bali. Dari dialah cerita tentang aeng ini bermula.

Mas Agung menceritakannya untukku. Karena pada saat kejadian, aku sedang nyempal dari SRUntul alias sedang tidak bersama mereka.

Saat itu mereka sedang melintasi sebuah jalan makadam yang ada jalur air di bawahnya. Hmmm, sulit untuk menggambarkannya. Tapi akan tetap aku coba menceritakannya padamu, seapa adanya saat Mas Agung mendongengkannya padaku.

Engkau tahu aliran air yang seperti gorong gorong kecil kan? Nah, anggap saja yang aku maksudkan seperti itu. Atau lebih mudahnya, anggap saja latar cerita ini adalah sebuah gua di bawah sebuah jalan yang tak begitu lebar. Di sana Mas Agung mendapati sebuah suara.

Aeeeeeng… Aeeeeeng…

Suara itu terdengar melengking dan putus asa. Seperti sebuah suara yang dihasilkan dari sisa sisa tenaga. Dan agak menggema karena asal suara itu dari sebuah lorong.

Mas Agung lahir dan besar di Bali. Sedari kecil dia sudah terbiasa dengan kehidupan anjing. Tidak salah bila Mas Agung langsung membuat sebuah kesimpulan. Itu adalah suara anjing. Dan dia sedang butuh pertolongan. Naluri tolong menolongnya terhadap sesama mahluk hidup pun tergerak. Tanpa babibu dia langsung mengomando dirinya sendiri untuk turun ke bawah dan masuk ke lorong bersuara itu.

Detik terus berdetak. Semua menunggu di bibir lorong. Salah satu Brimob kawan Mas Agung (aku lupa namanya) menunggunya di sudut yang agak jauh dari bibir lorong. Menurut penuturannya, saat itu dia sedang menikmati sebatang rokok. Saat ada suara langkah dari dalam lorong (dan suara Mas Agung yang memanggil manggil salah satu kawannya yang ahli PPGD / medis, barulah Brimob yang menikmati rokok itu mendekat. Oh, ternyata dia spesialis medis darurat. (Dia sedang bergabung bersamaku saat Mas Agung bercerita)

Detik detik yang paling dramatis adalah saat Mas Agung sudah benar benar keluar dari bibir lorong. Dia sedang menggendong sesuatu. Tapi bukan anjing.

Mas Agung sedang menggendong seorang bocah perempuan balita. Saat Mas Agung merengkuhnya, dia sedang ada dalam dekapan Bapaknya yang tak lagi bernyawa.

Dan aeng? Aeng adalah sebuah kata dari bahasa lokal Madura yang artinya air. Ya benar, si cantik yang mungil itu, yang rambutnya kusut dan matanya sembab, dia terserang dehidrasi yang teramat dahsyat.

Aku selalu mengenang kisah ini. Mengenang detik detik yang Mas Agung ceritakan. Meskipun sebenarnyalah di detik detik yang legendaris itu, aku tidak sedang ada di sana. Aku menyempal. Tapi tetap saja aku sibuk menyembunyikan sepasang mata yang sedang dilanda banjir bandang ini, berharap orang orang di sekitarku mengacuhkannya.

Di Tim SRU yang lain..

Salah seorang kawanku menemukan sesuatu di kubangan lumpur yang dekat dengan pohon roboh. Tadinya dia mengira itu adalah korban meninggal. Tapi setelah semakin didekati, korban tersebut mengeluarkan suara merintih. Ow, ternyata masih bernyawa. Beliau adalah seorang kakek.Tim SAR segera bertindak. Medis cekatan memberinya pertolongan pertama.

Beberapa hari selanjutnya sang kakek mendadak menjadi selebritis di media media lokal maupun nasional.

Cerita yang lain

Ini tentang helipet..

“Siapa yang bisa membuat helipet?”, kata seorang Bapak berbaret hijau pada sekumpulan kawan kawan pencinta alam yang sedang istirahat.

“Helipet itu apa Pak?”, jawab salah seorang kawanku. Serentak, semua yang ada di sana tersenyum. Tapi tidak bagi Bapak baret hijau. Beliau melotot marah lalu berkata, “Kalau tidak siap jadi Tim SAR pulang saja..!”

Semua diam. Aku juga. Lalu salah seorang dari kami berdiri. Aku melakukan hal yang sama. Entah bagaimana proses selanjutnya, tiba tiba aku sudah sibuk mengukur dan membersihkan sebuah tempat yang kurasa itulah yang paling luas. Tempat yang miring, maklim kami sedang ada di kebun kopi daerah bernama kalimati.

Aku dan beberapa kawan dan juga beberapa Bapak AD sedang membuat helipet, tempat dimana kami nanti akan menurunkan helikopter untuk mengangkut beberapa korban yang kondisinya mustahil untuk ditandu kebawah.

Selang satu jam kemudian, dua helikopter sudah berputar putar di atas kepala kami. Akhirnya salah satu dari dua helikopter tersebut berhasil mendarat. Baling balingnya masih berputar. Semua tim medis (dari latar belakang apapun) sibuk mengantar para korban. Diutamakan wanita dan anak anak.

Sampai pada helikopter kedua, kejadiannya hampir sama. Semua sibuk. Baling baling terus berputar. Tugasku selesai. Yang aku lakukan saat itu hanyalah memandang takjub pada helikopter. Ahahaha.. Tentu saja kau tahu alasanku. Sedari kecil aku memimpikan untuk naik helikopter. Ingin rasanya aku mendekati helikopter dan pura pura sibuk mengantarkan korban. Tapi itu sangat palsu. Dan aku tidak ingin begitu.

Ohya, masih tentang helipet. Lapangan tempat pendaratan helikopter butuh sesuatu yang cerah sebagai fokus. Salah seorang kawan pencinta alam bernama Kartolo berinisiatif membuka jaketnya yang berwarna kuning. Para aparat mengiyakannya. Dan kau tahu, beberapa tahun kemudian jaket itu dia berikan padaku. Saat itu aku sedang ultah. Tentu saja aku bangga memakai jaket itu. Ini adalah si kuning yang jenius menyimpan kesan.

Ada cerita yang tercecer di sini..

Berita sedih. Tidak ada pendaratan ketiga. Korban yang butuh diangkut masih ada. Beberapa diantaranya lansia.

Aku ceritakan padamu tentang seorang kawan bernama Rachmat. Dia seorang pencinta alam. Dan saat itu dia sedang marah. Why?

Hari semakin sore. Sebentar lagi gelap. Orang orang memutuskan untuk segera turun ke bawah ke posko Kemiri. Semua korban dibawa serta turun ke bawah. Yang masih bisa berjalan disarankan untuk menguatkan diri dan mencoba berjalan. Yang sedang di infus (sebagian dari mereka hanya diinfus seadanya. Hanya dengan cairan semacam oralit) di bopong dengan tandu. Padahal jalannya menurun. Katakanlah, lokasi kita ada di puncak perbukitan.

Dari semua korban tersebut, ada dua korban yang sengaja ditinggalkan. Yang satu adalah seorang kakek, satunya lagi seorang nenek. Mereka ditemukan di lokasi yang berbeda. Cukup menjelaskan bahwa mereka bukan sepasang suami istri.

“Kita tinggalkan saja mereka di sini..”

Sungguh, saat itu hatiku memberontak. Bagaimana mungkin dua orang lansia ditinggalkan begitu saja di daerah bencana yang jauh dari jangkauan tim medis?

Tapi entahlah, kenapa saat itu aku hanya diam seribu bahasa.Mungkin, karena yang berbicara adalah salah satu dari Tim SRU ku. Dan dia adalah kawan baik Mas Agung. Dan aku sudah menaruh kepercayaan pada Mas Agung terkait kasus aeng.

Berbeda halnya dengan Rachmat. Dia marah. Kedua matanya menyala nyala. Dia seperti sedang ingin menerkam dan meremat remat siapapun yang membuat keputusan brutal itu. Beruntunglah, beberapa saat kemudian dia lebih memilih melangkahkan kedua kakinya ke arah kakek nenek. Mungkin rasa marahnya menurun. Tapi..

Sesampainya di sana (di tempat dimana kedua korban lansia tersebut berbaring), Rachmat seperti tak terkendali. Kedua telapak tangannya menggumpal seperti sedang ingin meninju angin. Matanya menyala nyala, tapi kali ini sama sekali tidak menggambarkan nyala api. Matanya menyala oleh air.

Inilah alasan kenapa Rachmat berkobar..

Dua orang korban bencana (dua duanya lansia) sengaja disepakati (kesepakatan darurat) untuk ditinggalkan di tempat. Perhitungannya, andaipun dibawa turun dia tidak akan terselamatkan karena kondisinya yang parah. Ada seorang tim medis yang mengatakan bahwa mereka berdua sedang sekarat.

Itu alasan pertama.

Alasan kedua. Pada saat Rachmat mendekati kedua korban, dia mendapati Mas Agung dan beberapa rekannya (mereka semua satu tim dengan saya) sedang menyandingkan si nenek di samping si kakek, lalu tangan kanan si nenek digenggamkan ke tangan kiri kakek. Tak lama kemudian Mas Agung dan teman temannya terkekeh kekeh. Demi menyadari ada Rachmat mendekat, salah satu dari mereka angkat bicara.

“Biar mereka meninggal dengan tenang Mas. lagian kalau sendiri sendiri kasihan, mereka akan kedinginan..”

Kemudian mereka berlalu sambil tetap terkekeh. Tinggallah sekarang hanya Sepasang kakek nenek yang sedang sekarat, bersama Rachmat yang mata dan hatinya meleleh.

Rachmat menungguinya. Bahkan saat satu persatu dari kami mulai menuruni jalan makadam yang penuh lumpur, dia tetap disana. Beberapa dari kami sempat membujuknya untuk segera turun agar tidak kemalaman di tengah perjalanan, Rachmat masih memegang teguh pendiriannya. Dan itu memang Rachmat lakukan. Dia melaksanakan apa yang hati nuraninya inginkan.

Benar juga prediksi para aparat itu. Kurang dari satu jam kemudian, salah satu dari kedua korban lansia tersebut memejamkan mata untuk selama lamanya. Denyut nadinya berhenti. Anehnya, tak lama kemudian, lansia yang satu lagi menyusul, jiwanya terbang menuju peristirahatan terakhir. Sengaja aku menggunakan kata kata lansia karena aku lupa urutannya.

Kali ini, bukan hanya Rachmat yang meleleh..

Kisah kisah di atas, bukan aku yang menjadi pemeran utamanya. Begitupun, pengaruhnya teramat luar biasa bagi kehidupanku kedepan.

Pada saat aku ada diantara reruntuhan gedung akibat gempa Jogja ( hanya berjarak 4 bulan dari banjir bandang Panti – Jember), pada saat aku sedang ngeSAR seorang kawan di gunung semeru (hanya berjarak enam bulan dari gempa Jogja), bahkan hingga saat aku ada di lokasi lokasi bencana merapi yang lalu, (kali ini aku sebagai relawan yang bukan SAR, tapi mendampingi korban di penampungan) kisah kisah di atas menuntun nurani dan memaksa empatiku untuk terus menerus bekerja.

Dari sekian banyak kisah, ada satu lagi yang melegenda. Kali ini akulah pemeran utamanya.

Masih di kejadian bencana yang sama, banjir bandang panti 2006. Dan ini adalah kisah yang selalu sengaja aku lupakan, sayangnya aku tidak pernah berhasil melupakannya.

Jas Hujan Untuk Seorang Ibu

Seorang ibu menggigil kedinginan. Sementara di salah satu pergelangan tangannya ada terlihat sebuah jarum yang terhubung dengan selang kecil menuju botol infus. Aku ada di sampingnya. Tidak berbuat apa apa. Entah, aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain hanya ingin tetap di sampingnya. Satu satunya yang membuat aku tampak berguna adalah saat si Ibu ini terus menerus membicarakan putri kecilnya yang terpisah darinya, dan aku setia mendengarkan apa yang beliau utarakan.

Tampak jelas cuaca sedang tidak bersahabat. Rintik gerimis turun tidak perbutir, tapi seperti kabut embun yang bertebaran. Lokasi kami sangat jauh dari posko. Dan jalur jalannya amat sangat tidak mungkin bila dilalui dengan menggunakan tandu. Tapi tidak ada pilihan lain. Si Ibu tidk sedang sekarat. Wajahnya tampak baik baik saja. Satu satunya masalah adalah dia harus ditandu.

Sulit, tapi keadaan tidak memberi pilihan yang lain lagi. Alhasil beliau kami bawa turun. Beliau mau, bukan karena beliau merasa kuat melaluinya. satu satunya alasan yang mengkristal di hatinya adalah karena putri kecilnya (kabarnya) ada di posko kemiri. Dan itu adalah sumber energi bagi beliau.

Pelan tapi pasti, kami bergerak membawa beliau. Aku kebagian membawa semua barang barang si Ibu yang terangkum dalam tiga buntalan taplak meja.

Semuanya baik baik saja. Bahkan saat kami melalui medan menyusur pinggiran sungai yang licin dan suaranya bergemuruh (medan ini mengharuskan kami untuk tidak membuat kesalahan sekecil apapun), beliau tampak baik baik saja. Pasrah.

Tepat beberapa detik saat rombongan kami berhasil melalui jalan yang menyusur itu, gerimis berganti butiran hujan. Sang Ibu menggigil kedinginan. Salah satu dari kami berinisiatif untuk berhenti dan menurunkan tandu. Sudah dilakukan. Tapi hanya itu yang kami lakukan. Hanya bengong dan saling memandang satu sama lain. Si Ibu masih menggigil oleh butiran hujan. Untunglah, akhirnya ada suara yang memecahkan kebekuan (yang bodoh) itu.

Namanya Bayu. Dia satu kampus denganku. Bedanya, dia bukan seorang pencinta alam, melainkan aktifis kesenian kampus. Dialah yang berhasil merobek suasana yang beku hanya dengan beberapa deret kata saja.

“Masbro, bukankah sampean membawa jas hujan?”

Hanya itu yang Bayu katakan. Tapi itu adalah sebuah mantra sakti yang sukses membuat aku cekatan bertindak. Segera aku turunkan tas yang menggelayut di punggungku. Segera aku membukanya. Tidak butuh waktu lama untuk meraih jas hujan karena aku menempatkannya di atas sendiri. Kemudian, semua berjalan seperti yang diharapkan bersama.

Hujan masihlah turun saat kami melanjutkan perjalanan. Sekujur tubuh si Ibu sekarang sudah tertutup oleh jas hujan. Kecuali wajahnya. Ya, aku tidak sampai hati menutup wajahnya yang damai dengan space jas hujan yang tersisa. Aku hanya melipatnya hingga dada.

Hujan semakin deras. Sebentar sebentar si Ibu menyebut nama Tuhan. Itu membuat kami tak sampai hati. Di tengah perjalanan kami pun kembali berhenti untuk kemudian menurunkan tandu (Jangan salah kira tentang tandu. Ini hanyalah tandu primitif, dimana hanya ada dua lonjor kayu dan dua lonjor lagi yang lebih pendek. Disusun mengotak, lalu diantara dua kayu yang memanjang ada lilitan lilitan tali. Sederhana).

Kali ini aku jauh lebih cekatan dari sebelumnya. Menutup seluruh wajah beliau dengan lembar ujung atas jas hujan yang tadinya aku lipatkan di dada beliau. Sudah. Kami kembali bergerak menuju posko.

Hujan terus mencumbui tanah berlumpur. Terasa semakin deras. Tapi kami tenang. Mungkin ini adalah aura dari si Ibu yang menyemerbak diantara kami. Ya benar, sekarang beliau tak lagi merintih kesakitan oleh butir butir air hujan yang seperti hendak menusuk wajahnya.

Sekitar dua jam kemudian..

Semakin mendekati posko, hujan semakin melambat hingga kemudian hanya menyisakan rintik rintik kecil.

Alhamdulillah, sampai juga akhirnya rombongan kami. Hal pertama yang kami lakukan adalah menerobos apapun yang menghalangi kami, untuk menuju salah satu tenda medis terdekat.

Sesampainya ditempat, kawan kawan cekatan menurunkan tandu yang di atasnya ada si Ibu dalam posisi berbaring berselimutkan jas hujan milikku. Akulah orang pertama yang teramat sangat tergerak untuk membuka bagian jas hujan yang menutupi wajah si Ibu.

Dengan penuh perasaan dan selembut yang aku bisa, aku membukanya. Kau tahu, yang kudapati bukanlah wajah yang bibirnya merintih, menyebut nama putri kecilnya, dan yang mendzikirkan nama Tuhan. Bukan semuanya. Aku mendapati wajah yang tenang, yang bibirnya telah selesai melaksanakan tugasnya di dunia ini.

Beliau telah berpulang ke Rahmatullah..

Harusnya saat itu engkau ada di sampingku. Aku benar benar sangat butuh bahumu sebagai tempatku bersandar. Aku merindukan saat saat dimana engkau (dengan caramu) menenangkan hatiku.

Ingin sekali aku berlari pulang. Aku merasa akulah pembunuhnya. Aku.. ah.. Bahkan saat aku menuliskan kisah ini pun, hatiku merintih.

Lalu..

Entah darimana datangnya, ada seseorang yang menepuk bahuku. Caranya menepuk jelas jelas terasa, dia sedang menenangkan aku. Reflek aku menoleh. Ternyata beliau adalah seorang laki laki seusia Bapakku yang mengenakan baju blonteng blonteng dengan kombinasi warna hijau dan coklat tanah. Dia benar benar seperti seorang perwira yang sedang menenangkan prajurit bawahannya. Aku menatapnya, berusaha memberikan sedikit senyum tapi tidak berhasil. Justru beliaulah yang berhasil membungkus sebentuk empatinya dalam sebuah senyum kecil. Senyuman itu mampu memberiku sedikit rasa tenang, sekaligus berhasil menyulap kedua mataku hingga menjadi berkaca kaca.

Di ujung kedua mata ini, ada semacam embun yang hampir terjatuh di ujung daun. Kelaki lakianku bersikeras menyuruhku untuk menahannya sekuat tenaga. Namun hati ini menyarankan untuk membiarkannya terjatuh dengan apa adanya. Dan aku terbang mengikuti apa yang hati ini ingin aku lakukan.

Kisah itu.. Aku yakin kisah itu teramat sangat menempa hidup dan kehidupanku. Tapi aku tidak tahu, bagian manakah dari diri ini yang tertempa.

Yang pasti, kisah itu meluaskan hati dan cara pandangku. Tapi itupun aku tidak tahu, cara pandang yang seperti apa yang aku maksud. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata kata yang mudah, tapi aku bisa merasakannya.

Tumbuh Bersama Hujan

Penggalan penggalan itu.. sebagiannya beriramakan hujan. Aku merasa, seolah olah aku sedang tumbuh bersama hujan.

***

“Postingan ini diikutsertakan dalam Kontes Dear Pahlawanku yang diselenggarakan oleh Lozz, Iyha dan Puteri

Kontes

Sponsored by :

Blogcamp|LittleOstore|Tuptoday|Lozzcorner|Rumahtramoiey