Kita mengalami dua hari yang indah..

Malam minggu kemarin, kulihat kau tak lagi pucat. Lalu aku mengajakmu jalan-jalan. Tidak jauh, hanya mengunjungi sekretariat SWAPENKA. Hanya berjarak antara tiga sampai empat kilometer saja dari rumah. Sesampainya di sana, aku membuatkanmu api unggun di pelataran.

Malam semakin larut tapi tidak semakin sepi. Ada beberapa adek-adek SWAPENKA yang menemanimu, membeberkan matras, memberimu selimut tebal, menyiapkan kasur barangkali kau lelah dan ingin tiduran, serta tak lupa beberapa camilan.

Api unggun yang kubuat untukmu, semoga baranya selalu menyala di hati.

Hari berikutnya..

Minggu siang menjelang sore, aku dan kamu meluncur ke arah Balung. Di sana ada acara tasyakuran OPA WACHANA. Sayang sekali, di tengah jalan hujan menahan kau dan aku untuk melanjutkan perjalanan. Kita terdampar di tepi jalan raya, di sebuah toko yang tutup. Kita tidak sendirian, ada beberapa pengemudi motor lain yang merapat dan berteduh.

Sesekali aku memandang rintik hujan, sesekali aku memandangmu. Biasanya, di situasi yang berbeda, aku dan kamu lebih senang memilih cara gila untuk menghadapi hujan. Menikmatinya. Berbasah basah ria sambil bersenandung kecil. Tidak kali ini.

Satu jam lebih kita terjebak hujan. Saat derasnya berganti gerimis, saat kulihat kau mulai kedinginan, aku masih tidak berani memutuskan untuk menerobos gerimis. Memang semakin dingin. Tapi itu yang terbaik. Dan lagi ini memang kesalahan kita, selalu tidak senang mempersiapkan (apalagi mengenakan) jas hujan.

Akhirnya hujan pun berhenti. Kita pulang, tidak melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, aku melakukan beberapa hal. Satu diantaranya adalah membuatkanmu minuman hangat.

Belum lagi kau seruput minuman hangatnya, kulihat wajahmu kembali pucat. Tiba tiba kau melakukan gerakan reflek. Aw.. ternyata makanan yang beberapa jam yang lalu kau telan, kini kembali seperti tsunami kecil.

Kita mengalami dua hari yang indah. Saat wajahmu tak lagi terlihat pasi, aku akan membuatnya lebih indah.