Ketika itu malam hari, hujan turun lebat sekali. Suasana di JL. Jawa –Kampus Bumi Tegalboto Jember– lengang, nyaris tak ada suara kendaraan yang lewat. Memang ketika telah mendekati Idul Fitri, tak banyak PKL yang nekad berjualan kecuali Leman, Gito penjual nasi goreng, Solikin, dan Cak Jo. Tapi di malam itu, mereka pun entah kemana. Suasana menjadi semakin sempurna saat lampu padam.
Aku sendirian di sudut UKMF Sastra. Tak ada orang lain di sini kecuali Tik Songot dan Jono, mereka berdua memang bertugas jaga malam di Fakultas Sastra.
Sepi. Saat yang baik untuk menertawakan kebodohan diri sendiri. Lalu aku menantang sunyi dengan memungut sebuah ranting basah. Lalu sebuah lagi. Begitu seterusnya hingga menjadi segenggam, dua genggam, kemudian banyak, kemudian aku lelah, lapar, dan tertidur.
Siang hari. Memulai aktifitas dengan menanak nasi pakai energi listrik yang dibayar dengan subsidi negara. Kemudian memetik gitar yang juga tertera nomor di belakangnya, pertanda bahwa ia dibeli dari uang subsidi. Lalu bosan. Baru kemudian teringat ranting-ranting kecil itu. Aku menatanya sedemikian rupa. Berbekal korek api dan sesobek kertas kering, aku memanggil sang api untuk menjilati ranting.
Hana, itulah secuil kenangan tentang api unggun yang pernah aku ceritakan padamu. Dalam sunyi dan kesendirian, aku merawatnya. Mula-mula hanya terdiri dari kumpulan ranting, lalu beranjak ke bonggolan kayu, lalu ia mengikat hatiku. Saat hujan turun, aku sibuk menutupinya dengan rumput dan dedaunan segar. Kadang aku turut menari di bawah hujan, hanya karena ingin memastikan ada bara api tersisa yang nanti bisa aku perjuangkan.
Setiap kali mengenangnya, lamunanku mengarah pada wajah lampau. Di masa itu, Indomart di sudut JL. Jawa VI belum ada, yang ada adalah pintu kecil yang menghubungkan Fakultas Sastra UNEJ dengan dunia luar. Kelak di akhir tahun 2007, pintu ini ditutup atas nama ketertiban dan keindahan kampus. Nasib serupa juga dialami oleh Panggung Terbuka Sastra, dua tahun kemudian.
Hana, api unggun itu bertahan selama sembilan malam. Selanjutnya ia dilupakan. Pelajaran yang baik, agar manusia tak melulu menyediakan mental untuk menjadi legenda.
Api unggun itu, ia penanda kerinduan yang pertama.
Di hari lahirmu kali ini, kubuatkan kembali api unggun. Mula-mula dari beberapa ranting, dimulai tujuh hari yang lalu. Semoga kau suka.
Hana, selamat hari lahir.