Engkau bertanya padaku kenapa harus berganti nama menjadi yang sebenarnya? Tidakkah butuh nama online? (Daripada nama pena, aku lebih senang menyebutnya begitu).

Aku diam. Tidak segera menjawabnya. Sesaat setelah kuseruput kopi buatan tanganmu, tak ada alasan lagi bagiku untuk tidak menjawabnya. Dimulai dengan senyum kecil, baru kemudian aku bicara.

Pak Hakim itu nama yang sangat Indonesia. Mungkin sedikit pasaran, tapi aku akan membuatnya berbeda. Percayalah.. Itu juga sebentuk doa yang indah.

Engkau kembali bertanya

Bagaimana dengan bro, bagaimana dengan braddah, bagaimana dengan brade, bagaimana dengan masbro? Bukankah dibalik nama itu ada kisah yang sulit terlupa?

Tidak berhenti sampai di sana, engkau masih nyerocos. Mengulang ulang cerita yang pernah aku kisahkan. Aku pusing tapi pura pura tidak pusing. Engkau pasti tahu tapi kipikir kau juga pura pura tidak tahu. Engkau masih mengoceh tak tentu arah. Semakin melebar. Bicara dan terus bicara.

Kali ini aku marah. Dalam marahku aku mengingat sesuatu, bukankah engkau halal untukku?

Sekejap saja aku meringkusmu. Menaruh tangan kananku di seputar lehermu, menjeratmu, mencari asal suara yang terus berceloteh itu, lalu..

Hening..

Aku dan kamu bisa mendengar detak suara jam dinding. Aku senang melihatmu kembali tenang dan tak lagi mempersoalkan sesuatu yang harusnya tak menjadi masalah. Kita saling berpelukan saat aku memutuskan untuk merobek keheningan.

Ya Hana, semua kata kata yang kau ledakkan itu benar. Itu terjadi pada lima belas tahun yang lalu. Sebuah kisah historia jalanan yang menjadikanku berubah nama menjadi seperti yang kau kenal kemarin.

Waktu terus berjalan tidak peduli apakah kau hidup bersama romantisme atau tidak..

Dimulai dari lima tahun yang lalu (menurut perkembangan kota kecil dimana kita menghirup udara), tiba tiba nama ini naik daun. Aku tahu sebutan “Bro” atau “Masbro” akan populer di kemudian hari. Tapi aku tidak tahu kalau kepopulerannya adalah sekarang ini. Kalau saja aku tahu..

Begitulah Hana. Untuk cerita yang lain seputar itu, bukankah aku pernah menceritaka padamu? Kurasa tak perlu lagi aku mengulangnya di sini.

“Bagaimana dengan sebutan Pak Hakim?” katamu. Aku termangu. Diam. Memandangmu. Menimbang nimbang. Akhirnya aku kembali membuka suara.

Itu bukan sebutan. Itu memang nama pemberian mertuamu.

Secepat cahaya kau memotong ucapanku yang masih menggantung. “Kenapa harus Pak?”

Hmm.. ternyata kau tergesa gesa memotong uraianku hanya karena ingin mendengar penjelasan itu. Aneh. Namun tetap saja aku menjelaskannya. Bukan apa apa, aku merasa terancam oleh tatapanmu.

Begini..

Aku tidak sedang mempercepat proses penuaan dengan cara yang tidak alami. Aku juga tidak sedang ingin dituakan. Tidak ingin yang begitu begitu. Baiknya kuceritakan saja padamu kisah tentang seorang gadis kecil putri dari majikanku dulu.

Namanya Sayekti Widyaningrum. Dia akrab dengan panggilan Yekti. Dia putri dari juragan tempe tempat aku bekerja dulu. Tentang pekerjaan itu, haruskah aku mengkisahkannya kembali padamu?

Hmmm, baik. Sekedar menyegarkan kembali ingatanmu. Ada masa dimana dulu aku pernah bekerja sebagai penjaja tempe. Satu tempe setornya 400 rupiah dan sesuai kesepakatan, aku menjualnya seharga 500 rupiah. Proses berjualan yang sangat sederhana, dari pintu kepintu memulung rejeki 100 rupiah. Paling banyak, aku membawa seratus keping tempe. Itu sudah sangat lama. Dan hanya empat belas bulan aku menikmati figur sebagai pekerja ujung tombak.

Nah, pada saat itulah aku mengenal Yekti. Cantik, tentu saja.

Hai hai hai.. tunggu dulu. Ini tidak seperti yang ada dalam imajinasimu. Sama sekali tidak benar. Yang aku bicarakan adalah seorang gadis cantik berusia 9 tahun.. Oke oke, akan kupersingkat kisahnya.

Yekti mempunyai banyak waktu luang. Dia sering sendirian di rumahnya yang tidak kecil. Di saat saat yang seperti itu, aku menemaninya. Menceritakan sesuatu padanya. Kadang hanya sekedar mendengar kisahnya tentang hari hari di sekolah yang menurutnya begitu menyebalkan (dulu aku juga berpikiran sama). Begitulah, aku dan Yekti semakin dekat, dalam arti yang luas.

Bagaimana cara Yekti memanggilku, itu yang ingin aku sampaikan. Dia memanggilku Pak Hakim.

Aku masih sangat muda. Masih senang bercengkerama dari satu tongkrongan ke tongkrongan yang lain. Sekali waktu menikmati dunia hura hura. Masih menikmati hari hari dengan antusias tingkat tinggi. Masih semangat semangatnya mengejar mimpi. Dan di masa yang semuda itu sudah ada yang memanggilku Pak Hakim.

Nah, bukankah ini bukan sesuatu yang baru?

Hana, ijinkan aku berganti nama..